Jika seseorang bisa rindu dengan sesuatu yang tak pernah ia jumpai, lalu mengapa rumah-Nya tak didatangi?
Jika seseorang ingin sekali mengunjungi Baitullah, merasakan berdoa di hadapan ka’bah, dan menuntaskan kerinduan kepada Suri Tauladan semua umat muslim di dunia, Rosulullah SAW, lalu mengapa enggan mendatangi rumah-Nya yang tak lebih dari sejengkal hasta.
Atau justru bukanlah kerinduan yang menjadi alasan kita? Kita fokus mengejar pahala yang berlipat ganda sebagaimana HR. Ibnu Majah, “Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu shalat di tempat yang lain, kecuali Masjidil Haram, dan shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada seratus ribu shalat di tempat yang lain..” Tak salah memang bila motivasinya adalah mendapatkan pahala sebagaimana sabda Nabiyullah. Yang justru jangan sampai ada pada diri kita, yakni keengganan mereguk kenikmatan bertemu di rumah-Nya yang tak jauh dari pelupuk mata.
Bukan hanya saya, melainkan kita semua pasti merasa bersyukur bisa bergabung di Sekolah Islam Al-Azhar Cairo Palembang ini. Pembiasaan shalat jamaah di awal waktu yang membudaya dan menjadi akar penguat keyakinan bahwa di sini tempat bertumbuh dan menempa diri untuk lebih dekat dengan-Nya.
Tatkala adzan berkumandang, setiap orang akan menghentikan segala aktivitas dan bergegas menuju masjid. Tidak terkecuali siswa, guru pun akan turut serta. Begitulah kira-kira indahnya pemandangan yang tak jauh rupanya seperti Makkah dan Madinah yang selalu diidamkan oleh semua.
Saya ingin menyertakan sedikit pengalaman mengajar di mata pelajaran Bahasa Indonesia yang saya ampuh di kelas 8 Imam Hanafi. Saat itu, saya meminta siswa untuk menyajikan teks berita yang di dalamnya terdapat informasi mengenai kejadian yang patut diberitakan selama masa pandemi yang tentu mereka alami secara langsung.
Ada satu tulisan siswa yang membuat saya tertegun. Kurang lebihnya ia menuliskan kejadian yang dialami saat shalat jumat di masjid dekat rumahnya. Ia melihat seorang pria dengan kondisi fisik tak sempurna. Berjalan dengan satu kaki namun tak mengurungkan niat pria itu untuk mendatangi masjid. “Padahal jauh banget dia jalan Miss,” ujarnya lirih saat menyajikan secara lisan hasil tulisannya.
Kemudian saya mencoba memanfaatkan suasana dengan membubuhkan sedikit cerita pada mereka yang saat itu hanya sepuluh menit waktu tersisa. Saya lempar dengan pertanyaan, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dalam mengerjakan amal saleh?” Mendengar tanya itu mereka semua mengernyitkan dahi dan menggelengkan kepala.
“Imam Muslim dalam Sahih-nya meriwayatkan suatu cerita dari Abu Hurairah bahwa ada seorang sahabat buta pernah menemui Rosulullah SAW dan berujar “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang menuntunku ke masjid.” Lelaki itu meminta keringanan kepada Nabi Muhammad SAW untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)?” Lelaki itu menjawab, “Benar.” Beliau bersabda:,“Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).”
Mendengar tambahan cerita itu, sang anak merespon, “Iya Miss. Lelaki yang tidak sempurna kondisi fisiknya saja tetap mendatangi masjid untuk berjamaah. Kita yang sehat dan sempurna secara fisik harusnya lebih semangat berjamaah.”
Saya fikir bukan hanya hikmah yang bisa ditularkannya kepada teman lain yang mendengar penyajian teks berita yang telah ditulisnya, tapi saya juga sebagai guru ikut tersentak. Jarak masjid di lembaga tempat bernaung ini tak sampai 50 meter rasanya dari ruang tempat biasa beraktivitas. Tidak harus jalan berkilometer melewati gurun. Tidak pula harus bertumpu pada satu kaki. Namun kenapa kini shaf begitu lengang.
Tak bisakah keadaan berlalu normal sedia kala. Rindu rasanya menyaksikan gelaran sajadah dan semua shaf terisi tanpa jarak. Rindu rasanya menyaksikan kedatangan dari berbagai penjuru mengunjungi satu titik ketika adzan berkumandang bak kumpulan energi positif bergelayut di dalam rongga-rongga alam semesta raya.
Pada dasarnya manusia cenderung lupa bahwa ia adalah hamba yang harusnya mengabdikan diri kepada Tuhan dengan sepenuh hati. Tidak boleh ada yang lain yang dipertuhankan. Tidak boleh ada hal lainnya yang mungkin lebih penting. Jika panggilan-Nya pun tak segera ditemui, patutlah bila Allah tidak menyambut kerinduan dengan segera mengundang kita menuju Baitullah.
Mari bersama kita kembalikan fungsi masjid untuk menjadi tempat kita menuntaskan segala kerinduan dengan-Nya. Hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kesempatan pada kita untuk bertamu ke Baitullah.
Ya Allah..
Jadikan kami pantas untuk mendapatkan panggilan, bukan panggilan biasa.
-NYO-
ditulis oleh Nova Yunita Oesman
© 2024 Sekolah Islam Al-Azhar Cairo Palembang