Oleh: Ruri Febriyanti, M.Pd. (Guru SD Islam Al-Azhar Cairo Palembang)
Menuliskan tentang ini berdasarkan first impression saya ketika bertemu dengan murid-murid SD Islam Al Azhar Cairo Palembang, 5 tahun silam. Saat itu hari pertama saya mengajar. Ketika saya berdiri, beberapa murid lewat seraya mengulurkan tangan sebagai tanda ingin shakehand. Mereka shakehand dan memberi salam. Tidak hanya perkara shakehand dan salam, tapi mereka juga menerapkan budaya antre, belajar yang tertib, menolong teman, mengingatkan teman kepada kebaikan, dan masih banyak lagi.
Saya perhatikan bahwa hal ini tidak hanya dilakukan oleh murid tertentu saja, tetapi semua murid. Sebagai guru baru, di dalam hatinya tentulah ada decak kagum. Lalu saya mulai pengamatan mengenai sistem pembelajaran sekolah ini dan menemukan pendidikan karakter di dalamnya.
Pendidikan karakter bukanlah hal baru. Pendidikan karakter bahkan telah diterapkan sejak prakemerdekaan. Seiring dengan pengembangan kurikulum, maka terbit pula langkah-langkah pengembangan pendidikan karakter dalam kerangka pendidikan melalui bentuk dan cara yang berbeda-beda.
Pendidikan karakter awalnya dimasukkan dalam lembaga pendidikan yang dicanangkan dalam UUD tahun 2003 namun hanya terintegrasi pada mata pelajaran seperti Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan. Akan tetapi, dinilai tidak optimal karena tidak berlaku untuk semua mata pelajaran. Hingga pada tahun 2010, Muhammad Nuh meresmikan bahwa pendidikan karakter harus menyatu dalam lembaga pendidikan sehingga terbentuklah Kurikulum Berbasis Karakter di tahun 2013.
Pendidikan nasional pada umumnya mengembangkan dua kompetensi, yaitu kemampuan dan watak. Pengembangan kemampuan berkaitan dengan olahpikir dan watak berkaitan dengan olahrasa. Selaku pendidik, kita dituntut untuk mampu mengembangkan dua fungsi tersebut dengan seimbang melalui integrasi pembelajaran terhadap karakter.
Pendidikan karakter memiliki cakupan luas, tidak hanya sebatas sopan santun tapi terbentang pada ranah karakter budaya sehingga menumbuhkan daya keingintahuan intelektual. Daya ini membuat peserta didik menjadi sosok yang kreatif dan inovatif yang dibalut dalam norma kejujuran dan kesopanan.
Saat ini, pendidikan karakter tidak hanya dalam mata pelajaran saja, tapi dalam kegiatan ekstrakurikuler, keseharian di sekolah, hingga program-program yang sengaja dibentuk guna menanamkan pendidikan karakter yang lebih kental.
Semakin dini pembangunan karakter, maka perwujudan nilai-nilai luhur diharapkan terserap optimal terhadap peserta didik. Jadi, mereka tidak hanya memiliki wawasan yang baik, tapi juga hati yang baik, pikiran yang baik, dan perilaku yang baik.
Di sekolah ini, pendidikan karakter sudah layaknya nyawa, mendasar, dan mengakar. Strategi pembangunannya pun komprehensif. Mulai dari penerapan dalam mata pelajaran yang dituangkan dalam tujuan pembelajaran, lalu ekstrakurikuler lapangan meliputi panahan, pramuka, taekwondo, ekstrakurikuler pengetahuan seperti math dan science club hingga ekstrakurikuler keagamaan seperti tahfizh dan tahsin.
Lebih istimewa lagi, pendidikan karakter tertuang penuh dalam pembiasaan keseharian mulai dari pembiasaan antre, sadar akan kebersihan lingkungan, apresiasi murid, sudut baca yang ada di setiap kelas, edutrip bagi setiap grade, dan pergelaran puncak tema. Kegiatan ini termasuk dalam ranah kemuridan dan kurikulum.
Di bidang keagamaan, kegiatannya meliputi pembiasaan murid untuk salam dan mencium tangan guru sebagai bentuk takzim, shalat berjama’ah, do’a sehari hari beserta hadits, dan infaq kelas.
Semua kegiatan ini diharapkan mampu mengisi kesan dan pikiran yang dalam untuk murid. Setelah dibiasakan, maka kita selaku guru harus melihat hasil dan mengadakan evaluasi. Melihat hasilnya darimana? Mudah saja. Contohnya, saat kita mengajarkan hadits larangan makan dan minum sambil berdiri.
Sejak saat mereka membaca pertama kali, lalu memahami, menerapkan, dan yang lebih mengagumkan, mereka bahkan menjadi reminder sesama. Misalnya ada anak yang tidak sadar minum sambil berdiri, maka yang lain akan spontan mengingatkan dengan cara membacakan hadits tersebut beramai-ramai, “Laa yasyrobanna ahadukum qooima”. Sontak anak yang sedang minum sambil berdiri akan memperbaiki sikapnya, langsung duduk dan tersenyum malu.
Dari kejadian ini kita dapatkan pula bahwa hasil pada setiap murid tidak akan merata. Mengapa? Ada yang langsung menerapkan tanpa kompromi, ada pula yang harus diingatkan berkali-kali. Tidak mengapa, asalkan kita selaku guru bersikap konsisten atas instruksi pengajaran yang kita berikan.
Tidak hanya konsistensi tapi juga cerminan diri. Ketika kita “berani” mengajarkan hadits larangan makan dan minum sambil berdiri, maka kita, selaku perantara pemberi hadits harus menerapkan lebih dahulu. Jangan sampai melarang, namun diri kita sendiri kerap melanggar. Jika kita sebagai pendidik mampu konsisten dan mencerminkan perilaku baik, maka murid akan melihat dan terbiasa dari hari ke hari, bahwa pengajaran itu bukan hanya tercurah dari lisan namun juga perbuatan.
Semoga pendidikan karakter yang ada di jsekolah ini, baik dalam kondisi normal ataupun pandemi, dapat kita selalu pahamkan dengan konsisten. Semakin awal pendidikan karakter diterapkan maka semakin besar pula upaya kita selaku pendidik untuk mengatasi krisis moral.
© 2024 Sekolah Islam Al-Azhar Cairo Palembang