Oleh:
Anggun Primadona, S. Pd.
Guru Matematika SD Islam Al-Azhar Cairo Palembang
“Begitu saja kok tidak bisa” kadang terdengar seperti meremehkan. Tapi ada juga yang mengatakan kalimat itu adalah sebuah motivasi. Sebagai seorang guru, penting sekali untuk memilih kalimat apa yang harus diucapkan. Karena hal ini akan berdampak besar bagi kehidupan anak. Jika saat itu murid tersebut memang sedang fokus mendengar, kalimat tersebut bisa menjadi ingatan jangka panjang (Long Therm Memory).
Seorang murid berusia 21 tahun bercerita kepadaku “Kak, dulu sewaktu SD Aziz benar-benar tidak paham cara menjumlahkan pecahan berbeda penyebut. Padahal materi itu sudah dipelajari sejak kelas 4.” Aku tersenyum tipis, lalu bertanya “Memangnya sekarang sudah paham?”. “Menurut kakak?” dia bertanya balik sambil tertawa. Muridku satu ini sekarang sedang menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran. Mustahil rasanya jika saat ini dia belum bisa melakukan operasi penjumlahan pecahan berbeda penyebut. Dia bercerita banyak tentang pengalamannya saat belajar di bangku sekolah dasar. Rasanya saat itu Aziz merasa tidak percaya diri dengan kemampuannya karena ia sering mendengar kalimat “Begitu saja kok tidak bisa”. Sebagai seorang guru SD, aku berusaha memahami maksudnya bercerita. Sepertinya dia secara tersirat ingin mengatakan bahwa aku jangan berkata seperti itu kepada murid-muridku. Berdasarkan cerita yang disampaikan Aziz, kalimat “Begitu saja kok tidak bisa” bukan bernilai motivasi, justru terkesan meremahkan dan membandingkan dengan murid yang lain.
Setiap murid mempunyai waktunya tersendiri untuk memahami suatu materi pembelajaran. Jadi, anggap saja semua murid mempunyai tombol pemahaman tersendiri. Tugas guru adalah mencari dimana tombol tersebut agar koneksi antara pemahaman dan materi yang disampaikan dapat terjalin dengan baik. Dalam pelajaran matematika misalnya, guru menjelaskan tentang kelipatan persekutuan terkecil dan faktor persekutuan terbesar. Berdasarkan pengalaman saya mengajar, pada materi ini jarang murid yang benar-benar paham maksud dari KPK dan FPB. Mereka hanya tau bahwa untuk mencari KPK dan FPB dari beberapa bilangan adalah dengan menggunakan cara pohon faktor atau tabel. Padahal jika mereka paham apa itu kelipatan, faktor bilangan, dan persekutuan mereka tidaklah perlu menggunakan cara-cara tersebut.
Menjadi guru adalah amanah yang berat. Harus menjadi teladan dalam bersikap dan berucap, mencari cara-cara terbaik dalam mentransfer pengetahuan, dan membangun motivasi untuk belajar dan melakukan kebaikan. Ada sebuah kalimat menenangkan tentang amanah menjadi seorang guru dalam sebuah foto di instagram yang saya lihat. Kalimatnya begini “Jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pinter orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan pada Allah. Didoakan saja terus-menerus agar muridnya mendapat hidayah” (KH. Maimoen Zubair)
Foto itu menyadarkan saya bahwa kalimat “Begitu saja kok tidak bisa” sama saja seperti kita memaksa murid untuk paham sebelum kita menemukan tombol pemahaman yang ada pada diri murid. Belumlah tuntas melaksanakan kewajiban mentransfer pegetahuan dengan baik tapi sudah menuntut murid untuk paham dan pintar. Menyalahkan murid belum paham padahal diri sendirilah yang belum benar-benar paham. If you can’t explain something in simple term, you don’t understand it (Richard P. Feyman).
Mendidik pada jenjang sekolah dasar adalah kesempatan emas untuk menanamkan pengetahuan dari dasar untuk kemudian digunakan sebagai pijakan murid dalam mempelajari materi di jenjang-jenjang selanjutnya. Menjadi waktu yang paling tepat untuk memberikan teladan dalam bersikap dan berucap. Leluasa untuk mencari tombol pemahaman yang ada pada diri siswa tanpa harus menyalahkan guru-guru pada jenjang sebelumnya. Setelah mengetahui bahwa setiap murid mempunyai tombol pemahaman, menjadi guru akan lebih bermakna.
Melihat murid sebagai sosok yang berbeda dan tidak bisa disamaratakan. Mereka mempunyai waktu dan cara masing-masing untuk memahami dan menalar maksud dari penjelasan gurunya. Meremehkan dan membandingkan adalah perbuatan yang harus dihindari guru dalam mendidik karena begitu menyakitkan bagi murid yang menjadi objeknya.
Mulai saat ini mendidiklah dengan berusaha mencari tombol pemahaman itu, jika satu cara belum berhasil cobalah dengan cara yang lain. Jika masih belum juga ditemukan tombol pemahaman itu oleh kita sebagai gurunya, maka berdoalah agar tombol tersebut ditemukan oleh orang lain di waktu yang tidak terlambat.
© 2024 Sekolah Islam Al-Azhar Cairo Palembang